B. Indonesia

Pertanyaan

SATRIA BAJU PUTIH
(Upacara penyerahan tahta kerajaan telah disiapkan. Suasana khidmat. Ciung Wanara menebar senyum ke mana-mana. Prabu Barma Wijaya Kusuma cemberut. Tiba-tiba masuk rombongan orang berbaju putih. Sebagian membawa pedang samurai menutup gedung pertunjukan. Tak lama kemudian, mereka menyebar ke kedua sayap panggung hingga Ciung Wanara dan Prabu Barma Wijaya Kusumah kembali kelihatan. Keduanya sedang berhadap-hadapan dengan seorang tokoh bersorban dan berpakaian putih-putih)
Ciung Wanara : Apa-apaan ini? Kamu datang tanpa diundang. Kalian mengganggu kekhidmatan upacara negara. Ini upacara penting, bukan main-mainan!
Satria Baju Putih: Tentu saja kami datang tanpa diundang. Sejak kapan kamu berkenan mengundang kami? Kalau kami menunggu undangan kamu, jelas mustahil dan sia-sia.
Ciung Wanara : Siapa kamu? Siapakah Anda?
Satria Baju Putih : Kenal pada kami pun tidak, bagaimana Anda berani bicara soal undangan? Seolah-olah kita kerabat lama yang saling berlupaan dan gampang kembali bersalaman setelah saling mengingat dan bersapaan. Justru karena kami tak diundang dan tak bakkal pernah diundang, maka kami datang tanpa diundang.
Ciung Wanara : Baik, tapi sebutkan identitas kamu. Siapakah kamu sebenarnya?
Satria Baju Putih : Tentu saja kami rakyat Tuan Raja dan bakal rakyat Anda. Tentu pula kamu berdua mengenal kami.
Prabu Barma Wijaya: Dengar … dengar … dia rakyatku, bukan rakyatmu Kuusumah.
Ciung Wanara : (tidak menggubris Prabu Barma Wijaya Kusumah) Bukan begitu. Kalau benar kamu bakal rakyatku, tentu saya mengenal kamu. Maafkan saya. Saya kira, kamu tadi bukan rakyat saya. Kalau saya tahu kamu rakyat saya, tentu saya mengenal Andda semua. Bukankah Anda semua rakyat aya?
Satria Baju Putih: Belum lagi, Tuan. Masih bakal rakyat Andda. Kalau memakai istilah Anda, balon rakyat, yakni bakal calon rakyat Anda.
Ciung Wanara : Secara de jure, memangg belum,. Sebentar lagi. Tetapi secara de facto, kan, sudah. Jangan terlalu kaku dan formallah. Pengawal!!!!
Pengawal: Siap, Paduka! (dengan sigap dan tegap. Tetapi kemudian celingukan melihat sejumlah orang berbaju putih di sekitar istana).
Ciung Wanara : Persilakan tamu-tamu kita duduk di tempat yang telah ditentukan. Mereka rakyat kita. Berlaku manislah pada mereka sepanjang upacara.
Satria Baju Putih : Kami tidak diundang, bagaimana Tuan bisa berpikir kami bersedia dipersilakan?
Ciung Wanara : Lho, jangan segan-segan! Kamu sepertinya saja tidak diundang. Bahkan, sebenarnya upacara ini upacara kamu. Kamulah sebenarnya tuan rumahnya. Saya, kan sekadar dinobatkan. Untuk apakah saya dinobatkan, coba? Tidak lain tidak bukan untuk kamu. Tahta itu untuk rakyat saya Cuma mendudukinya sajja, kok. Jadi, jangan segan-segan. Kamulah tuan rumah acarra ini. Kita semua satu bukan? One for all. All for one.
Satria Baju Putih : tidak juga. Kami sudah berkali-kali mengalami keramahan yang sama dan perlakuan buruk yang sama juga. Kami tidak bersedia lagi. Lagi pula, Anda belum menjadi raja kami. Kami masih mempermasalahkan sah tidaknya tahta Anda.
Ciung Wanara: Anda jangan merumitkan masalah yang sederhana! Anda jangan bikin saya hilang kesabaran. Saya adalah raja yang lembut dan berbudi. Kecuali jika saya sedang marah. Kalau saya sedang marah, saya bisa sangat bengis. Ingat, seorang raja tidak punya banyak stok kesabaran di istana. Jadi, gampangg habis. Ini saja sudah mulai habis.
Satria Baju Putih : Sebaggai rakyat, kami punya banyak stok kesabaran. Kalianlah para raja dan penguasa yang sering mengurasnya secara besar-besaran. Kami kira, selama ini kamu kuras kesabaran-kesabaran kami untuk persediaanmu. Tidak tahunya, kamu sendiri tidak punya stok kesabaran. Lalu, ke mana semua hasil menguras kesabaran kami itu kamu simpan?
Ciung Wanara : Wah, ini sudah mulai serius! Mulai keras, provokatif, insinuatif, dan menghina. Kesabaran saya sudah benar-benar habis. Jadi, kamu ini sebenarnya mau apa?! Kamu mau makar, ya?! Menggulingkan raja yang sah! Mau mengadakan coup de etat secara inskontitusional?
Satria Baju Putih : ingat, Tuan belum jadi raja. Bagaimana Tuan bisa menganggap melawan Tuan sama dengan melawan kerajaan dan raja yang sah.
Ciung Wanara : Jadi, apa mau Anda?
Satria Baju Putih : Kami menolak lakon Ciuung Wanara. Kami menawarkan lakon yang lebih universal.

Ciung Wanara : Tidak bisa! Lakon ini dipilih secara musyawarah, mufakat. Secara aklamasi. Musyawarah bulat, suara bulat, bukan lonjong. Hasil sah demokrasi.

Satria Baju Putih : tapi, suara kami tidak dilibatkan. Janganlah bulat, lonjong saja belum. Kami ingin mengganti lakon Ciung Wanara dengan lakon lain. Lakon yang lebih relegius. Berdasarkan semata-mata pada cerita dari khazanah agama. Ini lakon yang berakar pada semua agama langit, yakni Musa dan Fir’aun.

Pertanyaannya di berikutnya ya kakak di bantu ya

1 Jawaban

  • maksudnya gimana ya kok saya belum faham . tapi dari cerita diatas sih asik

Pertanyaan Lainnya